“Kurikulum Merdeka Belajar” adalah model kurikulum yang saat ini sedang di-sosialiasi-kan dan di-animasi-kan oleh pemerintah ke seluruh satuan pendidikan yang ada di Indonesia, mulai dari SD, SMP, SMP, bahkan sampai ke Perguruan Tinggi (PT).
Model ini lebih dikenal dengan istilah kurikulum MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka). Dengan “sosialisasi”, dimaksudkan suatu proses pengenalan, penjelasan, penguraian tentang seluk-beluk “kurikulum merdeka” kepada para “sahabat” atau “mitra” (Latin: socius) pemerintah dalam bidang pendidikan, yakni semua satuan pendidikan pada setiap level dengan karakteristik masing-masing. Dengan istilah “animasi”, diharapkan agar semua komponen dan pemangku kepentingan di bidang pendidikan formal memiliki “jiwa” atau “semangat” (Latin: anima) yang sama dan menyatu dengan pemerintah dalam menerapkan Kurikulum Merdeka Belajar.
Tulisan ini muncul dari hasil pengamatan, analisis serta keprihatinan penulis terhadap proses implementasi Kurikulum Merdeka Belajar pada satuan pendidikan khususnya sekolah menengah atas (SMA) melalui kegiatan-kegiatan IHT (In House Training) yang sangat gencar dilaksanakan untuk mengejar target pencapaian sesuai rencana pemerintah. Dibalik semua upaya “kejar tayang” implementasi Kurikulum Merdeka Belajar ini, sesungguhnya tersimpan peluang dan tantangan yang patut disimak.
Untuk memahami esensi Kurikum Merdeka Belajar, kita kembali dulu pada pemahaman esensi Kurikulum 2013. Sejatinya Kurikulum 2013 berbasis pada Tujuan Pendidikan Nasional serta Standar Nasional Pendidikan (SNP) dengan penekanan pada pengembangan kemampuan (kompetensi kognitif, afektif dan psikomotorik), pembentukan sikap (penguatan karakter) dan peningkatan pengetahuan (Nuh, 2013). Setelah diterapkan selama hampir satu dekade, akhirnya pemerintah di era Jokowi mengeluarkan paradigma Kurikulum Merdeka Belajar melalui Kemendikbudristek.
Esensi dari “Kurikulum Merdeka Belajar” sebenarnya dapat dirumuskan dalam tiga hal pokok, yakni: (1) penyederhanaan konten pembelajaran yang berfokus pada materi esensial (simple content-based learning), (2) pembelajaran yang berbasis pada proyek yang kolaboratif, aplikatif dan multi-disipliner (project-based learning), dan (3) fleksibilitas dan penyelarasan (flexibility and fluidity) dalam penetapan capaian pembelajaran (CP) dan pengaturan jam pelajaran melalui Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP) yang mengangkat profil “Pelajar Pancasila” dan pengenalan karakter pribadi peserta didik (Makarim, 2021). Penerapan “kurikulum merdeka” kemudian diatur melalui Keputusan Mendikbud Ristek Nomor 162/M/2021 tentang Sekolah Penggerak.
Mengapa “Merdeka Belajar” ?
Paulo Freire, dalam bukunya Paedagogy of the Oppressed (Albertus, 2015) mengungkapkan bahwa esensi pendidikan itu tidak bisa dilepaskan dari “pembebasan” manusia dari ketidaktahuan, pemberian “kebebasan” untuk berpikir, berpendapat dan mengekspresikan kemampuan diri seseorang dalam suasana keterbukaan, persaudaraan dan kesetaraan sebagai sesama manusia yang secara kodrati dianugerahi rahmat “kebebasan” atau “kemerdekaan”.
Sejatinya manusia bukanlah “mesin” atau “robot” yang digerakkan secara mekanik. Meskipun manusia saat ini mampu menciptakan teknologi yang “menyerupai” manusia melalui pelbagai model dan aplikasi “kecerdasan buatan” (artificial intelligence) namun unsur “kemerdekaan” dan “kebebasan” sebagaimana dijelaskan oleh beberapa filsuf eksistensialis tetaplah semata menjadi milik khas manusia secara eksistensial (Tjahyadi, 2014; Suseno, 2010).
Manusia memang telah “ditakdirkan” untuk memiliki kebebasan dan kemerdakan, termasuk dalam dunia pendidikan. Maka, lahirnya “kurikulum merdeka” kiranya dapat dipahami dalam sitz im leben (konteks) kebutuhan dasar manusia (baca: peserta didik) untuk memiliki dan mengembangkan “kemerdekaan” pribadinya sehingga kelak mencapai taraf kedewasaan atau kematangan yang dibutuhkan dalam pekerjaan atau profesi kehidupan yang dijalaninya. Pertanyaannya mampukah setiap satuan pendidikan menerapkan kurikulum “merdeka belajar” sesuai dengan harapan pemerintah?
Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak
Sejatinya setiap satuan pendidikan itu harus terus bertumbuh dan ‘bergerak’ seiring perkembangan dunia dengan segala kompleksitasnya. Kehadiran ‘sekolah penggerak’ dan ‘guru penggerak’ harus dilihat dalam konteks peluang yang membantu implementasi “kurikulum merdeka” khususnya pada satuan pendidikan sekolah menengah. Tentu saja istilah-istilah ini mulanya menimbulkan pelbagai pertanyaan dan asumsi yang berbeda-beda dari pemerhati pendidikan dan juga pelbagai kalangan.
Yang dimaksud pemerintah dengan ‘sekolah penggerak’ adalah sekolah yang dijadikan semacam percontohan khusus penerapan “kurikulum merdeka” yang berfokus pada pengembangan hasil belajar siswa secara holistik (menyeluruh) dengan mewujudkan profil pelajar Pancasila yang mencakup kompetensi dan karakter melalui program SDM yang unggul. Tentu saja untuk menerapkan program ini dengan lebih efektif dan efisien maka dipilihlah beberapa guru yang khusus atau spesial sesuai pertimbangan sekolah untuk dilatih menjadi ‘guru penggerak’ yang memelopori gerakan ‘merdeka belajar’ dan profil ‘pelajar Pancasila’ di masing-masing sekolah.
Menurut saya program ‘sekolah penggerak’ dan ‘guru penggerak’ ini dapat menjadi peluang yang baik dalam hal menghidupkan lagi model pembelajaran berbasis peserta didik (SCL), menggerakkan dan menghidupkan kembali minat dan kecintaan sekolah terhadap Pancasila sebagai dasar dan falsafah utama bangsa Indonesia, serta memberi ruang yang lebih leluasa bagi siswa dan guru dalam membangun interaksi dan komunikasi personal yang berbasis keakraban kontekstual, pendampingan personal (terutama peran guru-guru BP) serta pengembangan karakteristik kurikulum pada masing-masing sekolah (KOSP).
Project-Based Learning
Alfred North Whitehead dalam bukunya The Aims of Education (1929) sudah menjelaskan dalam bagian tentang the rhythm of education (ritme atau irama pendidikan) bahwa esensi pendidikan itu adalah sebuah “proses menjadi” (on being process); suatu “proses” yang membuat seorang manusia tumbuh dan berkembang menurut “irama” atau “ritme” kehidupan dengan segala kebutuhan, permasalahan, peluang dan tantangannya tersendiri.
Karena itu menurut Whitehead, pendidikan harus dipandang sebagai sebuah project of life yang dimulai sejak awal kelahiran hingga kematian seorang manusia. Pendidikan sebaiknya tidak dijadikan sebagai sebuah sistem yang kaku, statis dan konvensional serta terlalu administratif semata. Pendidikan yang sejati kiranya sampai membuat manusia menjadi semakin mampu bertindak dan bertanggung jawab sebagaimana kodratnya sebagai manusia (hominisasi) serta membuat manusia semakin mampu menghidupi nilai-nilai kemanusiaannya (humanisasi).
Project-based learning dipahami sebagai sebuah pendekatan dalam pembelajaran yang memberikan kesempatan pada siswa untuk memperdalam pengetahuan dan pengembangan kemampuannya sesuai karakter yang dimiliki melalui aktivitas problem solving dan investigasi. Peluang penerapan kurikulum “merdeka belajar” melalui PBL adalah mendampingi para siswa menemukan jawaban dan solusi atas problem pembelajaran yang dihadapi serta memberi kesempatan bagi mereka membuat inovasi-inovasi sederhana, seperti karya tulis (literasi), karya tangan (prakarya), dan karya pikir (logika, numerasi).
Tiga Tantangan
Penulis mencermati tiga tantangan berkaitan dengan perubahan kurikulum dan program pembelajaran berbasis proyek. Pertama, sebuah “proyek pendidikan” mana pun pasti harus didukung dengan dana atau budget yang terukur dan dipertanggungjawabkan.
Diharapkan agar para PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dan pengguna anggaran di bidang pendidikan benar-benar bertanggung jawab dalam pembiayaan, penyaluran dan penggunaan anggaran secara transparan dan akuntabel. Kedua, masalah pengembangan SDM.
Kita perlu memilih lebih banyak pelatih ahli atau tutor yang membantu implementasi KMB dan PBL ini hingga benar dipahami oleh semua satuan pendidikan khususnya di sekolah-sekolah menengah. Dalam hal ini pemerintah harus membuat seleksi personal yang mumpuni.
Ketiga, sebaik dan sehebat apa pun kurikulum dan model pembelajaran yang hendak diterapkan di Indonesia, tetaplah kita masih ditantang dengan persoalan mentalitas masyarakat dan karakter personal, serta jaminan kontinuasi kebijakan politik di bidang pendidikan.