Desa
Muntis terletak di sebelah timur jalan besar, di sekitar pelemahan pura
Kendal. Kuburan desa tersebut berada disebelah baratnya dan disebelah
selatan kuburan berdiri Pura Dalem sampai sekarang . Desa itu berkembang
Pesat, Karena tanah disekitarnya sangat subur. Air itu mengairi sawah
sangat melimpah disebabkan letaknya sebelah sungai saba yang tidak
pernah kering. Dibarengi dengan penduduk desa yang cukup rajin, baik
sebagai Nelayan, maka tidak mengherankan kalau keadaan penduduk sangat
makmur. Orang-orang dari luar banyak berdatangan baik sebagai pedagang
dan bahkan ada juga yang terus menetap sebagai penduduk. Di antara
pedagang yang datang, adapula orang-orang Cina. Pada saat itu Desa
Muntis masi dikelilingi hutan belukar tadi, terdapat sebuah batu besar
yang dikeramatkan oleh penduduk, karena bertuah. Mereka sering
berkunjung lalu Bersemedi dan Memuja. Pedagang – pedagang Cina juga
Sering datang untuk memohon berkah dan keselamatan kehadapan Ida Bhatara
yang melinggih. Karena permohonan mereka sering terkabul, maka di atas
Batu besar tadi dibangun “ pelinggih “ yang besar , yang kemudian
merupakan sebuah Pura, dinamakan Pura Gede. Pada waktu pebanguna pura
tersebut, mengalir sumbangan-subangan, diantaranya sumbangan yang
berasal dari pedagang-pedagang Cina. Hal ini terbukti banyak
perabot-perabot bikinan Cina, piring,cangkir dll, terpasang menjadi
hiasan tembok pelinggih Pura. Sesuai dengan kepercayaan penduduk, dalam
pelinggih, tersebut bersemayam ida Bhatara Agung Ngurah Angker.
Disebelahnya dibuatka pula pelinggih, seperti pelinggih Ida Ayu Manik
Galih serta pelingi-pelingih lainnya termasuk pura segara. Juga
didirikan bale Agung di sekitar penataran pelinggih yang dimanfaatkan
sebagai tempat paruman atau pertemuan oleh penduduk kerama subak Puluran
dan Belumbang. Bale Agung tesebut sampai saat ini merupakan Bale Agung
tunggal Desa Pengastulan, Bubuna dan sulanyah. Penduduk Desa Muntis
makin berkembang. Makin lama makin Padat. Untuk menanggulani Kepadatan
Penduduk, kerama desa dan kerama subak mengadakan parum dipim[pin Jro
Bendesa. Dalam rapat disepakati pemecahan desa, dan semua keluarga
dipindahkan kelokasi yang berdekatan. Alas an lainnya pemindahan
penduduk itu ialah karena Desa Muntis berada di hulu ( luwanan ) Pura
Gede yang keramat itu, dan hal itu dianggap sering mendatangkan
malapetaka. Pada hari dewasa yang baik, yaitu hari Rabu Icaka 1381 atau
tahun 1459 seperti tersebut diatas, mulailah dilakukan perpindahan
penduduk, diawali dengan perabasan hutan belukar. Mereka yang berprofesi
sebagai nelayan, mengungsi kearah utara kemudian membuatan perumahan
disekitar Pura Gede. Karena pura tersebut merupakan tempat pemujaan atau
pengastawaan, maka nama desa disebut Desa Pengastulan. Sedangkan mereka
yang mengungsi kea rah selatan umumnya mereka memiliki tanah tegalan
dan tanah-tanah persawaan. Mereka mendirikan desa dengan nama Bubunan.
Kata bubunan berasal dari Bunbunan, karena tempat tersebut ditumbuhi
banyak pepohon. Kadang kala penduduk menyebutnya bangsing kayu ( bun ),
karenanya desa bubunan juga sering disebut desa bangsingkayu. Ada lagi
penduduk Desa Muntis yang mengungsi ke sebelah timur desa bubunan, dan
mereka umumnya memiliki tanah-tanah tegalan. Mereka bergotong royong
mendirikan desa baru, namanya suralengke,lama-lama menjadi Desa
Sulanyah.
Pada
waktu pemerintahan kibarakpanji sakti di Buleleng sekitar tahun 1604,
raja menugaskan seorang punggawa untuk menjaga punggawa untuk menjaga
keamana daerah Buleleng Barat.
Hal
itu dilakukan karena daerah tersebut sering menjadi sasaranbajak-bajak
laut, hingga suasana daerah tidak tentram. Punggawa itu bersemayam di
desa pengastulan, rumahnya dibanjar tengah ( Banjar pala sekarang ).
Konon yang menjadi punggawa ialah keturunan Sira Arya Tegeh Kori,yang
semula mengungsi dari bali selatan ke bali utara. Sebagai sebagi tempat
peribadatan keluarga tegeh kori, maka didirikan sebuah pura dengan nama
pura badung. Nama mungkin yang bersangkutan berasal dri daerah badung.
Beberapa keturunan Arya Tegeh Kori berhasil menduduki jabatan punggawa,
selanjutnya beralih ke desa bubunan, punggawa berkuasa atas distrik
Pengastulan yang daerahnya ditetapkan dari aliran sungai tukad men daung
sebelah timur desa kalianget sampai daerah telik terima. Setelah
Indonesia merdeka, distrik pengastulan dilikwidasi ( dilebur ) menjadi 3
kecamatan, yaitu kecamatan seirit. Kecamatan Busungbiu, Kecamatan
Gerokgak.
Tiga
desa, yaitu Pengastulan Bubunan dan Sulanyah Sampai saat ini Menjadi
Bale Agung Tunggal, bersama bersujud di Pura Gede. Hal ini di ibaratkan
sebagai pohon kayu. Desa Pengatsulan sebagai batangnya yang member
kekuatan hidup kepada seluruh pohon. Desa Sulanyah Sebagi cabang dan
daun, maksudnya untuk melindungi pokok kayu supaya tidak kepanasan.
Sedangkan Desa BubunanSebagai sulur ( Bangsing-Bun ) Sebagai pertahanan
keamana phon seluruhnya ketiga desa tersebut masing-masing telah
mempunyai Kahyangan Tiga, sedangkan pura tetap menjadi tanggu jawab
ketiga desa tadi. Suatu bukti nyata, bahwa ketiga desa tersebut pernah
menjadi satu desa, ialah pemangku pura Desa Pengatsulan berasal dari
desa bubunan. Demikian pula salah satu pelinggih yang terdapat di pura
Gede Pengatsulan, Pemangkunya Berasal dari Desa Bubunan, yang mendapat
julukan Jero balian.
Pura
Gede mempunyai dua macam yadnya, karena yang menyungsung terdiri atas
dua kelompok masyarakat, yaitu yatu warga desa dan karma subak. Pada
saat karya tama ( Musabha )yang diselenggarakan oleh karma subak Puluran
dan Belumbang setiap panen kerta mata disawah, Waega masyarkat hanya
sebagai pendukung ( Ngeruntunin ) . sedangkan pada waktu karya piodalan,
dilakukan oleh tiga karma desa ( Pengatsulan , Sulanyah dan Bubunan ),
Berlangsung pada Purnamaning kapat, didukung oleh semua karma subak (
Ngeruntunin ). Tiga hari sbelum upacara karya, Tiga warga desa secara
kompak melakukan upacar mekiis kelaut. Esok harinya mekiis Subak ke
empelan ( sumber Air ). Hari berikutnya dilakukan Pengeneng, munggah
sekar, lalu piodalan Ida Dewa Ayu Maniking Amerta ( Galih ). Hari
berikutnya dilakukan karya Ageng piodalan Ide Bhatara Dewa Gede Keesokan
harinya berulah dilakukan karya di pure Segare. Berdasarkan babad,
Setelah dilakukan karya piodalan, pada hari tilm berikutnya diadakan
yadnya lagi, dinamakan upacara ngambe pasih, untuk penghormatan terhadap
Bhatara Baruna ( Dewa Laut ). Pada saat itu, semua jenis sampan,
jukung dihiasi secara indah kemudin mengadakan perlombaan di laut
sebelah utar desa. Hal itu sebagai perwujudanrasa terima kasih kepada
Bhatara Baruna atas Karunia yang senantiasa dilimpahkan kepada para
Nelayan.