4/19/13

Sejarah Desa Sulanyah

Desa Muntis yang merupakan cial bakal tiga desa, yaitu Desa Pengatsulan, Desa Bubunan dan Desa Sulanyah.
Desa Muntis terletak di sebelah timur jalan besar, di sekitar pelemahan pura Kendal. Kuburan desa tersebut berada disebelah baratnya dan disebelah selatan kuburan berdiri Pura Dalem sampai sekarang . Desa itu berkembang Pesat, Karena tanah disekitarnya sangat subur. Air itu mengairi sawah sangat melimpah disebabkan letaknya sebelah sungai saba yang tidak pernah kering. Dibarengi dengan penduduk desa yang cukup rajin, baik sebagai Nelayan, maka tidak mengherankan kalau keadaan penduduk sangat makmur. Orang-orang dari luar banyak berdatangan   baik sebagai pedagang dan bahkan ada juga yang terus menetap sebagai penduduk. Di antara pedagang yang datang, adapula orang-orang Cina. Pada saat itu Desa Muntis masi dikelilingi hutan belukar tadi, terdapat sebuah batu besar yang dikeramatkan oleh penduduk, karena bertuah. Mereka sering berkunjung lalu Bersemedi dan Memuja. Pedagang – pedagang Cina juga Sering datang untuk memohon berkah dan keselamatan kehadapan Ida Bhatara yang melinggih. Karena permohonan mereka sering terkabul, maka di atas Batu besar  tadi dibangun “ pelinggih “ yang besar , yang kemudian merupakan sebuah Pura, dinamakan Pura Gede. Pada waktu pebanguna pura tersebut, mengalir sumbangan-subangan, diantaranya sumbangan yang berasal dari pedagang-pedagang Cina. Hal ini terbukti banyak perabot-perabot bikinan Cina, piring,cangkir dll, terpasang menjadi hiasan tembok pelinggih Pura.  Sesuai dengan kepercayaan penduduk, dalam pelinggih,  tersebut bersemayam ida Bhatara Agung Ngurah Angker.  Disebelahnya dibuatka pula pelinggih, seperti pelinggih Ida Ayu Manik Galih serta pelingi-pelingih lainnya termasuk pura segara. Juga didirikan bale Agung di sekitar penataran pelinggih yang dimanfaatkan sebagai tempat paruman atau pertemuan oleh penduduk kerama subak Puluran dan Belumbang. Bale Agung tesebut sampai saat ini merupakan Bale Agung tunggal Desa Pengastulan, Bubuna dan sulanyah. Penduduk Desa Muntis makin berkembang. Makin lama makin Padat. Untuk menanggulani Kepadatan Penduduk, kerama desa dan kerama subak mengadakan parum dipim[pin Jro Bendesa. Dalam rapat disepakati pemecahan desa, dan semua keluarga dipindahkan kelokasi yang berdekatan. Alas an lainnya pemindahan penduduk itu ialah karena Desa Muntis  berada di hulu ( luwanan ) Pura Gede yang keramat itu, dan hal itu dianggap sering mendatangkan malapetaka. Pada hari dewasa yang baik, yaitu hari Rabu Icaka 1381 atau tahun 1459 seperti tersebut diatas, mulailah dilakukan perpindahan penduduk, diawali dengan perabasan hutan belukar. Mereka yang berprofesi sebagai nelayan, mengungsi kearah utara kemudian membuatan  perumahan disekitar Pura Gede. Karena pura tersebut merupakan tempat pemujaan atau pengastawaan, maka nama desa disebut Desa Pengastulan. Sedangkan mereka yang mengungsi kea rah selatan umumnya mereka memiliki tanah tegalan dan tanah-tanah persawaan. Mereka mendirikan desa dengan nama Bubunan. Kata bubunan berasal dari Bunbunan, karena tempat tersebut ditumbuhi banyak pepohon. Kadang kala penduduk menyebutnya bangsing kayu ( bun ), karenanya desa bubunan juga sering disebut desa bangsingkayu. Ada lagi penduduk Desa Muntis yang mengungsi ke sebelah timur desa bubunan, dan mereka umumnya memiliki tanah-tanah tegalan. Mereka bergotong royong mendirikan desa baru, namanya suralengke,lama-lama menjadi Desa Sulanyah.
Pada waktu pemerintahan kibarakpanji sakti di Buleleng sekitar tahun 1604, raja menugaskan seorang punggawa untuk menjaga punggawa untuk menjaga keamana daerah Buleleng Barat.
Hal itu dilakukan karena daerah tersebut sering menjadi sasaranbajak-bajak laut, hingga suasana daerah tidak tentram. Punggawa itu bersemayam   di desa pengastulan, rumahnya dibanjar tengah ( Banjar pala sekarang ). Konon yang menjadi punggawa ialah keturunan Sira Arya Tegeh Kori,yang semula mengungsi dari bali selatan ke bali utara. Sebagai sebagi tempat peribadatan keluarga tegeh kori, maka didirikan sebuah  pura dengan nama pura badung. Nama mungkin yang bersangkutan berasal dri daerah badung. Beberapa keturunan Arya Tegeh Kori berhasil menduduki jabatan punggawa, selanjutnya beralih ke desa bubunan, punggawa berkuasa atas distrik  Pengastulan yang daerahnya ditetapkan dari aliran sungai tukad men daung sebelah timur desa kalianget sampai daerah telik terima. Setelah Indonesia merdeka, distrik pengastulan dilikwidasi ( dilebur ) menjadi 3 kecamatan, yaitu kecamatan seirit. Kecamatan Busungbiu, Kecamatan Gerokgak.
Tiga desa, yaitu Pengastulan Bubunan dan Sulanyah Sampai saat ini Menjadi Bale Agung Tunggal, bersama bersujud di Pura Gede. Hal ini di ibaratkan sebagai pohon kayu. Desa Pengatsulan sebagai batangnya yang member kekuatan hidup kepada seluruh pohon. Desa Sulanyah Sebagi cabang dan daun, maksudnya untuk melindungi pokok kayu supaya tidak kepanasan. Sedangkan Desa BubunanSebagai sulur  ( Bangsing-Bun ) Sebagai pertahanan keamana phon seluruhnya ketiga desa tersebut masing-masing telah mempunyai    Kahyangan Tiga, sedangkan pura tetap menjadi tanggu jawab ketiga desa tadi. Suatu bukti nyata, bahwa ketiga desa tersebut pernah menjadi satu desa, ialah pemangku pura Desa Pengatsulan berasal dari desa bubunan. Demikian pula salah satu pelinggih yang terdapat di pura Gede Pengatsulan, Pemangkunya Berasal dari   Desa Bubunan, yang mendapat julukan Jero balian.
Pura Gede mempunyai dua macam yadnya, karena yang menyungsung terdiri atas dua kelompok masyarakat, yaitu yatu warga desa dan karma subak. Pada saat karya tama ( Musabha )yang diselenggarakan oleh karma subak Puluran dan Belumbang setiap panen kerta mata disawah, Waega masyarkat hanya sebagai pendukung ( Ngeruntunin ) . sedangkan pada waktu karya piodalan, dilakukan oleh tiga karma desa ( Pengatsulan , Sulanyah dan Bubunan ), Berlangsung pada Purnamaning kapat, didukung oleh semua karma subak ( Ngeruntunin ). Tiga hari sbelum upacara karya, Tiga warga desa secara kompak melakukan upacar mekiis kelaut. Esok harinya mekiis Subak ke empelan ( sumber Air ). Hari berikutnya dilakukan Pengeneng, munggah sekar, lalu piodalan Ida Dewa Ayu Maniking Amerta ( Galih ). Hari berikutnya dilakukan karya Ageng piodalan Ide Bhatara Dewa Gede Keesokan harinya berulah dilakukan karya di pure Segare. Berdasarkan babad, Setelah dilakukan karya piodalan, pada hari tilm berikutnya diadakan yadnya lagi, dinamakan upacara ngambe pasih, untuk penghormatan terhadap Bhatara Baruna ( Dewa Laut ). Pada saat itu, semua jenis   sampan, jukung dihiasi secara indah kemudin mengadakan perlombaan di laut sebelah utar desa. Hal itu sebagai perwujudanrasa terima kasih kepada Bhatara Baruna atas Karunia yang senantiasa dilimpahkan kepada para Nelayan.